Minggu, 07 Februari 2010

CERPEN: MATA

Mata        by Apriliyantino (Lee Sun Tzu)

Kamar ini sunyi. Hanya aku dan sepi yang bersekutu dan saling mengisi. Aku dan sepi maujud menjadi satu. Bukan maksudku untuk tak menyebut yang lain itu ada. Sederet baju tergantung di hanger, setumpuk buku yang belum sempat kupindahkan dari atas meja. Juga seperangkat Komputer yang saat ini ada di hadapanku. Memang, mereka ada namun sekedar pelengkap tanpa makna. Hanya menipu kekosongan dengan kebisuan semata. Jadi kurasa, tak perlulah mereka memprotes perasaanku ini. Aku, sekali lagi tetap saja bergumul mesra dengan sepi belaka.

            Entah mulai sejak kapan aku mulai menyukai kesunyian. Aku benar-benar mencintainya. Menggenggamnya erat, layaknya kekasih sejati yang tak kuinginkan ia pergi. Aku merasa damai dalam asmara kebisuaan. Aku tentram dengan sepi yang menganga dalam. Aku terlena dalam diam. Aku menikmati dwi warna keheningan yang kuanggap sebagai putih dan hitam. Aku mematok mati keduanya untuk menepis pendar warna pelangi. Aku tak suka aneka warna bermesum ria di cakrawala.

Aku benci pelangi. Aku tak suka yang warna-warni.

Dari sinilah ceritaku bermula….

***

Segala yang dikaruniakan Tuhan kepadamu, wajiblah kau syukuri. Begitu kata guru ngajiku dulu. Aku selalu ingat itu. Paham benar. Aku hafal sekali definisi syukur-mensyukuri itu. Dengan cara apa? tanyaku saat itu. Belum sempat dijawab oleh sang guru, kumandang adzan Isya berbunyi. Suaranya melengking terdengar jauh dari kampung sebelah. Ia merambati persawahan luas yang memisahkan desaku dan desa sebelah.

“Waktu pengajian kita sudah usai. Cepatlah sana kalian ambil wudhu!”

“Baik Yai,” jawabku hampir bersamaan dengan beberapa teman kecilku waktu itu.

“Jangan berebutan ya!” himbau sang guru.

“Ya Yai!” kata kami.

Selesai itu, kami seperti biasanya melantunkan puji-pujian. Menggumamkan untaian kalimat syukur atas karunia Tuhan atas hidup dan segala kebaikan yang kami miliki. Sebab kami ingat, segala yang Tuhan beri wajib disyukuri. Begitulah pesan kyai. Entah, mungkin karena masih suci sehingga petuah-petuah itu lekat kami taati. Kami manut lan pasrah kaleh pak yai. Nderek pak Yai, meskipun kadangkala kami tak mengerti dengan apa yang dijejalkan kepada kami. Mungkin karena masih kecil, sehingga dengan mudah dirasuki segala bentuk indoktrinasi.

Syukur-mensyukuri karunia Tuhan adalah contohnya. Waktu itu, aku menganggap itu sebagai satu hal yang luar biasa sehingga akan mampu mengantarkanku ke surga. Lagi, aku ingat petuah sang guru ngaji jika manusia bersyukur maka dia akan ditambah nikmat oleh Tuhan. Entah, mungkin karena masih kecil sehingga aku—juga kawan-kawan masa kecilku mengamininya sebagai satu kebenaran. Sesuatu yang mungkin diikuti tanpa kesadaran.

Malam merayap. Sunyi menyergap setelah itu. Sang guru yang banyak bersyukur itu terlalu cepat dipanggil Tuhan. Aku kehilangan. Kami kehilangan. Tanpa guru, kami tak bisa meneruskan pengajian. Orangtua kami terlalu sibuk dengan urusannya mencari nasi. Tapi itu bukan satu-satunya alasan. Mereka awam, tidak terlalu paham perihal konsep ketuhanan. Mereka hanya tahu urusan mencari makan. Itulah, semasa sang guru ada, mereka pasrah saja kaleh pak yai. Menyerahkan anak-anak untuk beliau bina. Kini, sang guru telah pergi. Kami ditinggal sendiri.

Pencarianku atas jawaban pertanyaan yang kuajukan pada sang dulu guru terus kulakukan. Aku bertanya pada ayahku, ibuku, pada tetangga dan pernah juga pada anakan kambingku. Aku sebatas ingin tahu caranya mensyukuri nikmat Tuhan sebab kata almarhum guru ngajiku; tak banyak orang tahu caranya bersyukur. Manusia cenderung kufur, tak mengenang karunia Tuhan yang luas terbentang.

Bersyukur itu, kata ayahku adalah tak menyisakan nasi di piring saat makan, tak merengek minta dibelikan mainan dan menjauhi sungai. Entah, kurasa jawaban ayahku itu karena aku berkebiasaan buruk dengan selalu menyisakan makanan di piring saat makan. Aku juga suka merengek untuk sebuah mainan saat penjual mainan melintas di depan rumah kami. Setelah agak dewasa baru aku mengerti alasan mengapa jawaban ayah seperti itu. Aku tahu, saat ini maksudku, bahwa keluarga kami sangat kekurangan waktu itu. Ayahku hanyalah seorang buruh pengangkut kayu. Gajinya tak menentu, sehingga jangankan untuk membelikan mainan-mainan untukku, untuk bisa makan seharipun kadang kurang. Bersyukur itu adalah dengan tidak membuang-buang nasi, kata ayah. Jelas sekali, karena alasan yang telah kusebutkan di atas.

Lain lagi kata ibuku, bersyukur itu adalah tidak membantah jika disuruh ke warung, tidak hujan-hujan, dan pulang sekolah tepat waktu. Aku tahu, sebab dulu aku tak pernah taat dengan semua aturan itu. Jika boleh jujur, aku memang sedikit bandel dan keras kepala. Kata orang, sifatku itu tetap kentara hingga sekarang.

Kata kambing? Ah, aku hendak berkelakar saja.

Kata tetanggaku, pak Jamal namanya. Bersyukur itu berarti memberikan hak. Memenuhi apa fungsi dan keharusan peran atas indra dan segala yang Tuhan berikan kepada kita. Jika mata itu untuk melihat, maka gunakan ia untuk melihat. Melihat apa saja yang menyenangkan. Haram jika tak dimanfaatkan, katanya. Tuhan jua menurunkan nikmat kepada setiap umat di setiap bagian indra yang melekat di badan. Maka, seharusnya kita penuhi itu. Mulut untuk makan, berbicara, bernyanyi, atau berdzikir jika mampu. Mata untuk memandang keindahan, memandang bukti penciptaan sebagai ungkapan syukur atas anugerah retina dari Yang Esa. Begitu juga dengan perut, tangan dan kaki, serta segala organ yang lekat erat di jasad. Jangan pernah menyiakan semua itu. Jika kau tak mau dianggap kufur akan nikmat Tuhan Yang Maha Luhur. Itu petuah pak Jamal saat sore menjelang Maghrib kala itu.

Aku masih menyimpan tanya. Tapi, ah. Lagi-lagi takdir terlalu cepat menjemput tetanggaku itu pulang ke makam. Sekali lagi, Aku masih memeram pertanyaan.

***

Sudah kutahu, masa lalu beranjak meninggalkanku. Aku telah kukuh dengan pemahaman akan makna syukur yang kuramu sendiri. Aku mengerti dan merasa sudah sangat mumpuni melukis sendiri arah hati. Apalagi sekedar untuk merangkai definisi. Ah, maqomku sudah terlalu tinggi. Kini, gerimis mulai turun, aku menatap lepas arah timur. Aku menatap lewat jendela yang kebetulan terbuka. Ada Pelangi di cakrawala. Ya, kurasa itu pelangi. Aku paham bentuk lengkungnya. Aku tahu jumlah warnanya. Tujuh warna. Tujuh rupa yang konon katanya adalah jelmaan tujuh bidadari yang lepas dari surga. Kutatap kembali, dan aku terkejut. Aku tak melihat warna hijau di sana. Di mana dia? Biru, aku kehilangan pula warna biru. Di mana pula dia? Ah…

Aku berbalik membelakangi dua daun jendela yang menganga, lalu menggeser kasar tirainya. Aku cekat, sesak nafas. Oh, Tuhan ternyata tak memberikan semuanya. Aku curiga, jangan-jangan Aku buta warna. Bagaimana bisa? Aku hendak masuk tentara. Ah, aku tak percaya. Aku tidak buta warna. Tapi bolehlah jika warna yang buta. Aku normal adanya. Aku ingin masuk tentara.

Aku keluar. Berlari menembus gerimis yang mulai deras menjelma hujan. Aku berjingkat-jingkat di antara perdu pepohonan. Aku, entah. Mungkin tanpa kesadaran, memetik aneka warna dedaunan. Meraih kelopak aneka rupa bebungaan. Setelah semua jenis kudapatkan, aku berlari menuju ibu. Beliau kaget melihatku kuyup kebasahan. Lagi, aku melanggar satu aturan. Jangan hujan-hujanan.

“Ibu, tolong kemari lihatlah aku. Telah kukumpulkan aneka rupa bunga dan lembar daunan. Aku hendak sebutkan warnanya yang beragam!” kataku seraya mendekati ibu, menggamit tangannya dan membawanya mendekat ke meja besar di ruang tamu rumah kami. Ibuku heran, mungkin disangkanya aku telah kesurupan.

“Ada apa denganmu?” tanya ibu.

“Ibu, anakmu ingin tunjukkan. Ini bebungaan dan lembaran dedaunan, punya warna beragam! Ya kan??”

“Ya, bermacam warna dan ukuran. Ini tugas sekolahan??” Tanya ibu lagi.

“Bukan, anakmu cuma ingin tunjukkan…. Warna-warna kelopak bebungaan dan dedaunan!” kataku.

 “Ibu sudah tahu, untuk apa?” tanyanya pula.

“Biar aku jadi tentara!” kataku.

“Ah, kau ada-ada saja. Mau jadi tentara tak pakai daun! Tapi duit!” ibu tampak sedikit jengkel. Maklum, selain polisi, ibu juga benci tentara. Makanya beliau tak suka aku bercita-cita jadi tentara. Ibuku trauma. Kakak kandungnya tak pernah pulang setelah dikirim bertugas ke Papua.

“Tentara tak boleh buta warna…. Jika anakmu bisa menyebutkan semua warna benda ini, berarti anakmu tak punya masalah dengan mata!” Kataku.

“Ibu memilih kau buta warna!” kata ibuku.

Setelah bicara begitu, ibuku berlalu. Aku mematung, terdiam membisu. Kuremas-lumat aneka bunga dan dedaunan yang telah kukumpulkan. Aku geram. Aku kehilangan nafsu makan. Nasi di pring tak pernah aku habiskan.

Sekali lagi, aku langgar satu aturan. Kuterjang pesan ayah.

Aku melanggar norma kesyukuran yang mereka tetapkan.

***

Memasuki pasca SMA, aku beramai-ramai mengikuti beragam pendaftaran. Aku mendaftar ke perguruan tinggi, aku mendaftar TNI, aku mendaftar ke Polri. Aku mendaftar ke berbagai lini. Beruntung, menjelang tamat SMP, perekonomian orangtuaku telah berubah. Ayah tak lagi buruh kayu, ibuku tak lagi buruh sawah. Mereka berdua banting setir menjadi pedagang. Menuruti ramalan primbon kakekku, jika ingin kaya jangan bekerja sebagai buruh tapi bekerjalah sebagai pedagang. Untungnya, sedikit banyak itu terbukti. Karena itulah, aku bias lebih leluasa menadahkan tangan meminta uang untuk mendaftar tes ke sana ke mari.

Perjalanan panjang kulalui. Aku selalu lolos secara akademis dan tes psikis. Aku cukup cemerlang memang. Aku genius. Tapi sayang, aku malang. Aku benar, berulang kali kucoba pastikan. Aku positif, partial blind. Buta warna.

Aku kecewa.

***

Manusia memiliki cara masing-masih untuk lepas dari derita. Ada yang pasrah menerima atau mabuk dan murka atas takdir Yang Kuasa. Ada juga yang langsung gantung diri ataupun minum racun serangga. Semua pilihan. Hanya saja, aku tak tak pernah mengerti kehendak Tuhan. Kupikir, Tuhan tak pernah mengerti pintaku. Tertatih, aku terseok pelan menuju pulang setelah kutahu pupus harapanku untuk masuk TNI dan Polri. Namun kutahu, masih sadar meskipun kesadaranku mulai semu. Hidup musti berlanjut. Dan bukanlah perhentian itu di dua cita-citaku itu. Aku genius, masih punya banyak pilihan. Aku harus terus berjalan… berjalan sekehendakku. Meski menuju arah yang nyaris tiada tentu.

***

Dua belas tahun berlalu. Setelah kegagalan datang bertubi-tubi, aku mulai menghempaskan diri ke lubuk sunyi. Aku bertualang lepas ke wahana bebas. Membawa mataku menjadi corong, pengintai setiap rumah kosong di kotaku. Bertahun, menjalang meliar pandang ke penjuru terang.

Lama, mataku menjelma bola liar. Mataku, memenuhi syukur atas karunia Yang Maha Luhur. Dengan caraku, mataku kupuaskan semauku. Bertahun, mataku, segenap organ tubuhku kulepas bebas. Tanpa batas.

***

Tanpa sepengetahuan siapapun juga selain Tuhan, malam itu, aku melangkah sendirian saat gerimis kembali turun. Getir tuntutan kehidupan tak mudah kini kuelakkan. Apalagi saat istri mulai pandai memilih kosmetik buatan Korea. Apalagi saat anak-anak mulai pandai merengek minta mainan buatan China. Aku mulai penat hilang arah. Aku, di satu sisi tak mau mengulangi kisahku dulu, saat ayahku membatasi iginku sebab kemiskinan. Di sisi yang lain, aku tak jauh beda dengan ayahku waktu dulu. Jika beliau dulu buruh kayu, aku bekerja di pabrik sepatu. Aku buruh pabrik sepatu. Aku melangkah pelan, kian pelan menuju jalan besar.

Aku mulai gontai saat menanjak ke arah jembatan besar. Perlahan, aku hampir sampai ke pagar besi jembatan merah di kotaku kini tinggal. Aku tak tahu apa yang hendak kulakukan malam itu. Hanya satu yang tiba-tiba bergemuruh di dadaku. Meledak-meledak kuat. Ya, aku teringat akan penyebab semua susahku kini. Mataku. Ya, mataku. Aku benci mataku. Kebencian ini tiba-tiba menjadi sangat. Ya, semua bermula di sini. Di mataku ini.

Aku mendadak lepas kendali. Sebelum semuanya gelap, sebuah tangan meraih kerah bajuku, seberkas kilatan pisau garpu lebih dulu mengarah deras ke mata kiriku. Aku tak sadarkan diri.

Oh, mataku. Mataku…!!

***

Indralaya, 7/2/10                                                                                       

1 komentar: